Memburu Rida-Nya di Lintasan Maraton

Mengawali Langkah dengan Niat yang Benar
Setiap orang yang memulai perjalanan panjang selalu memerlukan alasan. Di lintasan maraton, alasan itu bukan sekadar mencapai garis akhir, tetapi memahami tujuan terdalam yang mendorong seseorang terus melangkah. Bagi sebagian orang, lari adalah hobi. Bagi sebagian lainnya, lari adalah bentuk perjuangan. Namun bagi mereka yang menjadikan hidup sebagai ibadah, setiap langkah di lintasan maraton menjadi cara untuk memburu rida-Nya.
Niat menjadi fondasi dari segala amalan. Ketika sepatu menapak aspal, ketika napas mulai berkejaran, ketika keringat mengalir di pelipis—di saat-saat itulah seseorang diuji apakah niatnya tetap teguh atau mulai bergeser.
Maraton sebagai Metafora Perjalanan Hidup
Lintasan maraton bukan hanya tentang ketahanan fisik, tetapi juga keteguhan mental. Dalam setiap kilometer, terdapat pelajaran yang menyamakan maraton dengan perjalanan hidup manusia.
Pada kilometer-kilometer awal, semuanya terasa mudah. Energi masih penuh, langkah ringan, dan semangat membara. Namun semakin jauh berlari, tantangan mulai hadir. Otot mulai menegang, napas terengah, dan pikiran mulai bertanya apakah perjalanan ini masih layak diteruskan.
Begitu pula hidup. Pada awalnya, kita penuh semangat mengejar cita-cita dan tujuan. Namun ketika rintangan datang, hanya mereka yang memahami makna ketabahan dan tawakal yang mampu bertahan.
Ujian Ketika Kekuatan Mulai Menyusut
Setiap pelari maraton mengenal titik jenuh yang disebut “the wall”, momen ketika tubuh seolah berhenti bekerja sama. Inilah fase tersulit, fase ketika seseorang diuji apakah ia akan berhenti atau memaksa dirinya melewati batas itu.
Dalam kehidupan, “the wall” datang dalam berbagai bentuk: kegagalan, kehilangan, rasa putus asa, atau ujian yang menghimpit hati. Pada saat inilah seseorang belajar bahwa kekuatan manusia memiliki batas, dan hanya kekuatan dari-Nya yang tidak terbatas.
Di sinilah makna sabar dan ikhlas menemukan tempatnya. Sabar bukan hanya menahan diri, tetapi terus bergerak meski pelan. Ikhlas bukan sekadar menerima, tetapi menyerahkan hasil sepenuhnya kepada Tuhan.
Menemukan Rida-Nya di Setiap Langkah
Tidak semua orang mampu mencapai garis akhir maraton. Yang mampu sampai ke sana bukan hanya yang terkuat, tetapi yang paling mampu mengelola dirinya. Demikian pula dalam hidup, rida-Nya tidak selalu ditemukan pada hasil akhir, tetapi pada usaha yang tulus dan tekad yang tidak pernah padam.
Rida-Nya hadir ketika seseorang tetap berjalan meski dunia terasa berat. Rida-Nya hadir ketika seseorang tidak menyombongkan pencapaiannya, dan tidak meratapi kegagalannya. Rida-Nya hadir ketika seseorang bisa berkata: “Aku berusaha sebaik-baiknya, selebihnya biar Tuhan yang menentukan.”
Garis Akhir sebagai Simbol Penyerahan Total
Ketika akhirnya garis akhir terlihat, langkah yang tersisa mungkin tidak lagi sekuat dahulu. Tetapi justru pada titik itulah seseorang memahami makna perjalanan panjangnya. Garis akhir bukan sekadar tujuan, tetapi simbol bahwa manusia selalu kembali kepada-Nya setelah berjuang di dunia.
Dalam maraton kehidupan, kita tidak pernah tahu berapa panjang lintasan yang telah ditetapkan untuk kita. Yang bisa kita lakukan hanyalah berlari sebaik mungkin, menjaga niat, dan mengupayakan setiap langkah agar bernilai ibadah.
Berlari Menuju Rida-Nya
Berlari di lintasan maraton mengajarkan banyak hal. Ia mengajarkan keteguhan, kesabaran, keikhlasan, dan pasrah pada kekuatan yang lebih besar dari diri sendiri. Pada akhirnya, maraton bukan hanya tentang mencapai garis akhir, tetapi tentang bagaimana seseorang menjaga hatinya tetap bersih dan niatnya tetap lurus.
Setiap langkah adalah doa. Setiap keringat adalah saksi. Setiap usaha adalah bukti bahwa manusia selalu mencoba memburu rida-Nya, bukan demi kemenangan duniawi, melainkan demi kemenangan yang sesungguhnya.



