Opini/Analisis media
Di era ekonomi perhatian, kalimat “saya tidak politis” sering dipakai sebagai perisai. Ia terdengar netral, santai, bahkan ramah—seolah konten hanyalah hiburan tanpa konsekuensi. Di ranah siaran olahraga, Pat McAfee adalah contoh paling mencolok dari strategi ini: membungkus komentar, candaan, dan pilihan tamu dengan klaim “no politics”. Namun, ketidakinginan untuk berlabel “politis” tidak otomatis meniadakan dampak sosial dari pesan yang berulang-ulang diproduksi dan diperkuat oleh sebuah acara besar.
Artikel ini bukan menilai motif personal, melainkan memeriksa mekanisme media: bagaimana format, nada, dan kurasi tamu dapat mengirimkan pesan yang punya efek nyata—meski dibingkai sebagai “sekadar hiburan”.
“Apolitis” sebagai branding, bukan jaminan netralitas
Di media modern, “apolitis” adalah posisi pasar: menjanjikan pelarian dari polarisasi. Tetapi netralitas bukan soal niat, melainkan hasil dari keputusan editorial—siapa yang diundang, bagaimana pertanyaan diajukan, kapan klarifikasi dilakukan, dan apa yang dipotong saat penyuntingan. Ketika sebuah acara memiliki jangkauan masif, setiap pilihan tadi ikut membentuk persepsi publik—soal atlet, liga, isu sosial, hingga cara kita memperlakukan perbedaan.
Dengan kata lain: tidak berniat politis ≠ tidak berdampak politik. Hiburan dapat menggeser norma, menormalisasi cara bicara, dan mengangkat aktor/argumen tertentu ke arus utama.
Tiga cara pesan tetap berbahaya meski disebut “tidak politis”
- Normalisasi pola tuding dan olok-olok
Format santai mudah melahirkan “running joke”—yang, ketika diputar berulang, menjadi lensa untuk melihat kelompok atau individu tertentu. Pola ini mungkin terasa ringan, tetapi ia menempel di kepala audiens sebagai heuristik: cepat, sederhana, bias. Pada skala audiens besar, normalisasi ini mengeras menjadi sikap. - Platforming tanpa penyangga konteks
Mengundang tamu kontroversial atau mengangkat klaim sensitif tanpa verifikasi/konteks yang memadai mengubah panggung hiburan menjadi megafon. Bahkan jika host “hanya bertanya”, sinyal yang terbaca di audiens adalah legitimasi. Di ruang yang cepat dan jenaka, due diligence sering kalah oleh ritme punchline. - Algoritma menyukai kemarahan
Ekonomi perhatian memberi insentif pada konten bertegangan tinggi. Klip yang memicu emosi—marah, jijik, “kita vs mereka”—lebih mudah viral. Ketika acara mengikuti logika ini, eskalasi nadalah yang menang, bukan akurasi. Dampaknya: polarisasi melebar, empati menyempit.
“Saya cuma komedian/host olahraga” tidak membatalkan tanggung jawab
Kebebasan berekspresi adalah hak; konsekuensi adalah keniscayaan. Semakin besar jangkauan, semakin besar tugas kehati-hatian. Tanggung jawab bukan berarti steril dari opini; ia berarti:
- Konsistensi standar: berani mengoreksi klaim keliru, bahkan jika itu merusak momen viral.
- Proporsi dan framing: bedakan antara kabar kabur, rumor, dan fakta—jelas sejak awal.
- Keadilan tamu: hadirkan keberagaman perspektif, bukan sekadar repetisi kubu yang sama.
- Akuntabilitas: ketika salah, tanggapi terang-terangan—bukan menepis dengan “ini kan hiburan”.
Mengapa audiens tetap rentan: psikologi singkat
- Efek kedekatan: gaya santai membuat host terasa “teman satu sofa”, sehingga kepercayaan naik meski filter kritis turun.
- Bias konfirmasi: audiens menyukai klip yang menguatkan pandangan awal; algoritma lalu menyuapi lebih banyak hal serupa.
- Heuristik otoritas: sponsor besar, studio mewah, dan tamu top menciptakan kesan kredibilitas, bahkan saat isi belum diverifikasi.
Hasil akhirnya: pesan yang dianggap netral menyusup sebagai kebiasaan berpikir, bukan sebagai argumen yang diuji.
Jika Anda pembuat konten: 7 pagar pembatas yang realistis
- Pra-mortem editorial: sebelum tayang, bayangkan klip paling viral—apa risiko salah pahamnya, dan bagaimana Anda memberi konteks di awal/teks layar?
- Aturan klarifikasi 20-detik: setiap klaim sensitif wajib diberi konteks singkat, on air, tanpa menunggu segmen lain.
- Labelisasi jujur: bedakan opini, spekulasi, dan fakta dengan frasa eksplisit (“ini opini”, “ini rumor yang belum terkonfirmasi”).
- Hak jawab cepat: jika nama seseorang disinggung, siapkan mekanisme respons—baca pernyataannya di episode berikut.
- Sunting bertanggung jawab: hindari potongan yang memutus kausalitas demi punchline.
- Audit tamu: seimbangkan pandangan; jangan jadikan kontroversi sebagai satu-satunya kurator undangan.
- Log kesalahan publik: simpan halaman “Koreksi & Pembaruan” yang mudah diakses.
Jika Anda audiens: cara menonton dengan melek media
- Cari sumber kedua untuk klaim yang terdengar “terlalu enak untuk kubu saya”.
- Bedakan persona dan prinsip: suka host-nya bukan berarti setuju pada semua framing-nya.
- Sadar algoritma: jika klip memicu amarah instan, berhenti sejenak; tanya, “siapa yang diuntungkan kalau saya membagikan ini?”
- Hargai koreksi: konten yang mau mengakui kesalahan lebih layak dipercaya daripada yang selalu defensif.
Penutup: netralitas adalah kerja, bukan deklarasi
Pat McAfee (dan banyak figur media lain) boleh saja menegaskan “tidak politis”. Tetapi dampak tidak tunduk pada deklarasi. Dampak mengikuti pilihan produksi—topik, tamu, gaya tanya, suntingan, dan cara mengemas klip di platform sosial. Bila sebuah acara menikmati jangkauan raksasa, maka setiap tawa, jeda, dan sound bite menyusun lanskap percakapan publik.
Mengakui hal ini bukan ajakan membungkam, melainkan undangan untuk bertumbuh: hiburan tetap bisa liar, lucu, dan berdenyut—sekaligus bertanggung jawab. Karena pada akhirnya, “tidak politis” bukan tameng moral; ia hanya tagline. Yang membuat beda adalah praktik editorial yang sadar akan akibat.
